Rabu, 21 Januari 2015

Jalan-jalan Pakai Motor



“Saya pergi ke mana-mana naik motor,” kata saya pada seorang teman di Bandung.
Dia memandang dengan kasihan. Saya maklum. Dulu saya juga berpikir seperti itu. Naik motor itu sengsara. Panas, berangin, kena debu. Kalau hujan basah kuyup. Pokoknya tidak ada bagusnya sama sekali. Saya juga memandang motor dengan negatif. Kalau jalan suka seenaknya, dan di kota-kota besar jumlahnya luar biasa banyak sampai mengintimidasi. Sebagai pengendara mobil saya memilih untuk mengalah. Selain itu, ada alasan lain kenapa naik motor itu enggak banget. Kalau naik motor harus pakai ‘gelembung’ yang jelek di kepala. Kalau mau pakai baju cantik dan sepatu tumit tinggi dan bawa tas tangan jangan pakai motor, deh. Gak matching banget!

Di sini suasananya lain. Saya kenal banyak orang yang lebih dari sanggup kalau cuma untuk beli mobil, tapi memilih untuk tidak punya mobil. Kebanyakan orang asing. Beli mobil kalau punya anak-anak yang masih kecil saja, yang diperlukan untuk antar jemput ke sekolah. Alasannya adalah demi kepraktisan. Ubud sudah sering macet dan banyak tempat yang tidak bisa didatangi dengan motor. Bahkan rumahnya yang di tengah sawah sendiri tidak bisa dicapai dengan mobil. Dan ternyata, naik motor itu enak banget. Memang ada kekurangannya, tapi kalau dihitung-hitung, selama badan masih kuat, menurut saya motor itu jauh lebih asyik untuk dipakai jalan-jalan menjelajah Pulau Bali.

Orang-orang yang berkunjung ke Bali sukanya mendatangi tempat yang itu-itu saja. Lihat saja daftar perjalanan tour anak-anak sekolah atau rombongan ibu-ibu yang pergi ke Bali. Selalu Kuta, Pandawa, Tanah Lot, Sangeh. Sesudah itu belanja di pasar Sukowati atau beli perak di Celuk. Dan wajib hukumnya mampir di Krisna untuk beli oleh-oleh. Membosankan sekali, ya? Bukannya tempat-tempat itu tidak layak dikunjungi. Tanah Lot itu indah sekali, begitu juga Kintamani dan danau di Bedugul. Tapi kenapa selalu menjalani jalur yang ‘aman’ dan banyak dikunjungi orang saja? Padahal banyak kemungkinan yang bisa diambil di Bali. Lain kali kamu pergi ke Bali, saya mau mengusulkan jalur lain. Dan percayalah, naik motor akan jauh lebih asyik, hehehe.

Ini adalah jalur yang kami ambil menjelang malam tahun baru yang lalu. Kami mengunjungi Widya yang tinggal di Pupuan. Jadi, mulailah dari Ubud dan ambil jalan ke arah Tabanan. Setelah itu pergi ke daerah pegunungan. Jangan salah, ada tempat yang namanya Jatiluwih yang juga di pegunungan dan titik awalnya juga dari Tabanan. Itu juga tempat yang menarik dan bisa dikunjungi lain kali. Sekarang kita mau ke Pupuan saja. Widya bilang dari Ubud ke Pupuan jaraknya 2,5 jam naik motor. Tapi kami menempuhnya lebih dari 4 jam. Kenapa? Pertama karena hujan. Berhenti dulu dua kali dan mampir ke pasar beli jas hujan untuk teman saya yang nyetir motor. Juga tersesat dan terpaksa balik lagi. Alasan lain yang tidak perlu disesali: karena jalur di pegunungan ini indaah sekali. Jangan ngebut di sini supaya bisa toleh-toleh kiri kanan. Kalau diikuti, rasanya di setiap belokan mau berhenti dulu karena sering pemandangannya lebih bagus dibandingkan di jalan yang lurus, bisa melihat lengkungan jalan yang baru dilewati. Hutan lebat. Jurang dalam yang rapat ditutupi tanaman hijau dan liar. Gunung-gunung di kejauhan. Sawah. Sambung menyambung tidak ada habisnya. Baru di akhir perjalanan muncul desa-desa. Setelah itu Pupuan, yang paling ramai. Biar capek dijamin tidak menyesal. Herannya, ada orang Tabanan yang tidak tahu di mana Pupuan. Dua orang yang kami tanyai menjawab, “Pernah dengar, tapi tidak tahu di mana. Tanya saja orang lain.” Duh. Orang Tabanan tapi tidak pernah ke Pupuan? Rugi amat!

Setelah satu jam lebih di rumah Widya kami berangkat lagi. Widya memberi bekal salak dan sumping, yang dulu saya kenal dengan nama nagasari. Rumah Widya sedikit melewati pertigaan Pasar Pupuan. Kami harus kembali ke pertigaan lalu belok ke kanan karena tujuan selanjutnya adalah Lovina.
“Kalau dari pertigaan diteruskan, itu ke mana Wid?” tanya saya.
“Ke Munduk,” jawab Widya.
Wah. Munduk. Dengar-dengar ini juga tempat yang bagus. Ada kenalan saya yang tinggal di sana. Saya juga pernah ketemu beberapa turis asing yang memasukkan Munduk dalam daftarnya untuk diinapi selama beberapa hari. Belum pernah ketemu turis Indonesia yang melakukan hal yang sama. Gampang ditebak, mereka maunya menginap di Kuta, Sanur, Seminyak dan sekitarnya. Menginap di Ubud atau Lovina saja segan.
“Munduk itu bagus, kan?” tanya saya lagi.
“Nggak tahu. Belum pernah ke sana.”
Astaga. Ini sih sama saja dengan dua orang Tabanan yang belum pernah ke Pupuan itu. Tapi ke teman saya saya membela Widya.
“Ngapain Widya harus ke sana? Memang ada orang yang pingin pergi ke Munduk?”
“Ada. Saya,” jawab teman saya.

Maka kami berangkat. Ke Lovina, bukan Munduk. Tapi suatu saat nanti pasti saya pergi ke Munduk. Dan jalur Lovina yang kami lalui itu, ya ampun, indaah sekali. Pohon-pohonnya tidak begitu liar dan rapat seperti jalur Pupuan, tapi sama mengagumkannya. Ada ruas jalan yang seperti di Puncak. Bedanya, kalau di Puncak ada kebun teh, di sini sawah. Kami berhenti sebentar dua kali untuk mengambil foto. Di lembah jauh di bawah terlihat sungai mengalir deras. Gunung-gunung ada tiga, semuanya berada di kejauhan. Saya tidak tahu gunung apa namanya. Sawahnya sedang menguning.

Kami menginap semalam saja di Lovina. Kembang api diluncurkan dari hotel-hotel dan homestay sepanjang pantai untuk menyambut tahun baru. Kami cuma menonton dari pantai hotel kami sendiri. Besoknya, sesudah sarapan, perjalanan dilanjutkan dengan tujuan… Amed. Tadinya saya tidak mau. Saya pikir untuk ke Amed perlu empat jam juga seperti jarak Ubud-Pupuan. Untungnya saya mengalah.  Pertama berangkat masih ogah-ogahan, eh semakin lama semakin semangat sejalan dengan pemandangan yang berganti-ganti. Kota besar, desa, pantai, desa lagi dan pantai lagi. Favorit saya adalah jalan yang menyusuri laut. Dua kali kami mendekati laut karena percuma sekali kalau pemandangan seperti itu cuma dilihat dari jauh. Ada juga jalan yang berbelok-belok pas sekali di pinggir tebing, sementara di bawahnya laut terbentang.Tidak lama sesudahnya sampai juga di Amed. Saya suka sekali desa kecil yang tidak kekurangan hotel dan restoran ini. Padahal, tadinya saya ingin berhenti dan menginap di mana saja sebelum Amed karena tempatnya bagus-bagus. Pantainya berpasir hitam dan enak sekali dipakai berenang karena ombaknya tidak terlalu besar.

Kembali ke premis awal bahwa naik motor lebih enak daripada naik mobil. Yang jelas, di sini lalu lintasnya tidak sepadat di Pulau Jawa. Naik motor masih oke kecuali kalau matahari sedang panas-panasnya. Keuntungan naik motor, kita jadi ingin menjelajah semua jalan meskipun sempit dan sedikit bergerinjul. Ke mana ujungnya, tidak penting amat. Pilihan yang tidak sengaja ini malah sering membawa ke tempat-tempat indah yang tidak terduga. Pantai yang sepi dan tenang. Hamparan sawah yang luas. Pura kecil yang pasti belum pernah dikunjungi wisatawan. Kalau jalan itu buntu, gampang sekali untuk putar balik. Sedangkan kalau naik mobil maunya kan mengikuti jalan besar yang biasa dilewati semua orang dan tujuannya pasti-pasti saja. Karena kalau nyasar malah repot. Selain itu mobil tidak bisa berhenti dan parkir di mana saja. Ada pohon berbunga lebat sekali  seperti sakura di Jepang, yang tumbuh di depan pura sebuah desa? Repot ah mau berhenti. Ada pemandangan bagus sekali di bawah tebing sana, kombinasi antara laut dan deretan rumah nelayan? Gimana mau berhenti, tepi jalannya sempit begini, belum lagi pas di belokan. Tambahan, dengan naik motor kita bisa merasakan angin meniup muka, rambut terurai ditiup angin segar (ini bohong. Mana bisa, kan harus pakai helm, hehehe). Pokoknya, tidak ada batas dengan alam. Seperti ikan di sungai. Sedangkan naik mobil sama dengan disekap dalam akuarium.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar